Oleh: Ummu Azkiya
Menjadi orangtua pada zaman globalisasi saat ini tidak mudah.
Apalagi jika orangtua mengharapkan anaknya tidak sekadar menjadi anak
yang pintar, tetapi juga taat dan salih. Menyerahkan pendidikan
sepenuhnya kepada sekolah tidaklah cukup. Mendidik sendiri dan
membatasi pergaulan di rumah juga tidak mungkin. Membiarkan mereka lepas
bergaul di lingkungannya cukup berisiko. Lalu, bagaimana cara menjadi orangtua yang bijak dan arif untuk menjadikan anak-anaknya taat pada syariah?
Asah Akal Anak untuk Berpikir yang Benar
Hampir setiap orangtua mengeluhkan betapa saat ini sangat sulit mendidik
anak. Bukan saja sikap anak-anak zaman sekarang yang lebih berani dan
agak ‘sulit diatur’, tetapi juga tantangan arus globalisasi budaya,
informasi, dan teknologi yang turut memiliki andil besar dalam mewarnai
sikap dan perilaku anak.
“Anak-anak sekarang beda dengan anak-anak dulu. Anak dulu kan takut dan
segan sama orangtua dan guru. Sekarang, anak berani membantah dan
susah diatur. Ada saja alasan mereka!”
Begitu rata-rata komentar para orangtua terhadap anaknya. Yang paling
sederhana, misalnya, menyuruh anak shalat. Sudah jamak para ibu
ngomel-ngomel, bahkan sambil membentak, atau mengancam sang anak agar
mematikan TV dan segera shalat. Di satu sisi banyak juga ibu-ibu yang
enggan mematikan telenovela/sinetron kesayangannya dan menunda shalat.
Fenomena ini jelas membingungkan anak.
Pandai dan beraninya anak-anak sekarang dalam berargumen untuk menolak
perintah atau nasihat, oleh sebagian orangtua atau guru, mungkin
dianggap sebagai sikap bandel atau susah diatur. Padahal bisa jadi hal
itu karena kecerdasan atau keingintahuannya yang besar membuat dia
menjawab atau bertanya; tidak melulu mereka menurut dan diam (karena
takut) seperti anak-anak zaman dulu.
Dalam persoalan ini, orangtua haruslah memperhatikan dua hal yaitu:
Pertama, memberikan informasi yang benar, yaitu yang bersumber dari
ajaran Islam. Informasi yang diberikan meliputi semua hal yang
menyangkut rukun iman, rukun Islam dan hukum-hukum syariah. Tentu cara
memberikannya bertahap dan sesuai dengan kemampuan nalar anak. Yang
penting adalah merangsang anak untuk mempergunakan akalnya untuk
berpikir dengan benar. Pada tahap ini orangtua dituntut untuk sabar dan
penuh kasih sayang. Sebab, tidak sekali diajarkan, anak langsung
mengerti dan menurut seperti keinginan kita. Dalam hal shalat, misalnya,
tidak bisa anak didoktrin dengan ancaman, “Pokoknya kalau kamu nggak
shalat dosa. Mama nggak akan belikan hadiah kalau kamu malas shalat!”
Ajak dulu anak mengetahui informasi yang bisa merangsang anak untuk
menalar mengapa dia harus shalat. Lalu, terus-menerus anak diajak
shalat berjamaah di rumah, juga di masjid, agar anak mengetahui bahwa
banyak orang Muslim yang lainnya juga melakukan shalat.
Kedua, jadilah Anda teladan pertama bagi anak. Ini untuk menjaga
kepercayaan anak agar tidak ganti mengomeli Anda—karena Anda hanya
pintar mengomel tetapi tidak pintar memberikan contoh.
Terbiasa memahami persoalan dengan berpatokan pada informasi yang benar
adalah cara untuk mengasah ketajaman mereka menggunakan akalnya. Kelak,
ketika anak sudah sempurna akalnya, kita berharap, mereka mempunyai
prinsip yang tegas dan benar; bukan menjadi anak yang gampang
terpengaruh oleh tren pergaulan atau takut dikatakan menjadi anak yang
tidak ‘gaul’.
Tanamkan Akidah dan Syariah Sejak Dini
Menanamkan akidah yang kokoh adalah tugas utama orangtua. Orangtualah
yang akan sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya sendi-sendi agama
dalam diri anak. Rasulullah saw. bersabda:
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu dan bapaknyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR al-Bukhari).
Tujuan penanaman akidah pada anak adalah agar si anak mengenal betul
siapa Allah. Sejak si bayi dalam kandungan, seorang ibu bisa memulainya
dengan sering bersenandung mengagungkan asma Allah. Begitu sudah
lahir, orangtua mempunyai kesempatan untuk membiasakan si bayi
mendengarkan ayat-ayat al-Quran. Pada usia dini anak harus diajak untuk
belajar menalar bahwa dirinya, orangtuanya, seluruh keluarganya,
manusia, dunia, dan seluruh isinya diciptakan oleh Allah. Itu sebabnya
mengapa manusia harus beribadah dan taat kepada Allah.
Lebih jauh, anak dikenalkan dengan asma dan sifat-sifat Allah. Dengan
begitu, anak mengetahui betapa Allah Mahabesar, Mahaperkasa, Mahakaya,
Mahakasih, Maha Melihat, Maha Mendengar, dan seterusnya. Jika anak bisa
memahaminya dengan baik, insya Allah, akan tumbuh sebuah kesadaran pada
anak untuk senantiasa mengagungkan Allah dan bergantung hanya kepada
Allah. Lebih dari itu, kita berharap, dengan itu akan tumbuh benih
kecintaan anak kepada Allah; cinta yang akan mendorongnya gemar
melakukan amal yang dicintai Allah.
Penanaman akidah pada anak harus disertai dengan pengenalan hukum-hukum
syariah secara bertahap. Proses pembelajarannya bisa dimulai dengan
memotivasi anak untuk senang melakukan hal-hal yang dicintai oleh Allah,
misalnya, dengan mengajak shalat, berdoa, atau membaca al-Quran
bersama.
Yang tidak kalah penting adalah menanamkan akhlâq al-karîmah seperti
berbakti kepada orangtua, santun dan sayang kepada sesama, bersikap
jujur, berani karena benar, tidak berbohong, bersabar, tekun bekerja,
bersahaja, sederhana, dan sifat-sifat baik lainnya. Jangan sampai luput
untuk mengajarkan itu semua semata-mata untuk meraih ridha Allah, bukan
untuk mendapatkan pujian atau pamrih duniawi.
Kerjasama Ayah dan Ibu
Tentu saja, anak akan lebih mudah memahami dan mengamalkan hukum jika
dia melihat contoh real pada orangtuanya. Orangtua adalah guru dan
orang terdekat bagi si anak yang harus menjadi panutan. Karenanya,
orangtua dituntut untuk bekerja keras untuk memberikan contoh dalam
memelihara ketaatan serta ketekunan dalam beribadah dan beramal salih.
Insya Allah, dengan begitu, anak akan mudah diingatkan secara sukarela.
Keberhasilan mengajari anak dalam sebuah keluarga memerlukan kerjasama
yang kompak antara ayah dan ibu. Jika ayah dan ibu masing-masing
mempunyai target dan cara yang berbeda dalam mendidik anak, tentu anak
akan bingung, bahkan mungkin akan memanfaatkan orangtua menjadi kambing
hitam dalam kesalahan yang dilakukannya. Ambil contoh, anak yang
mencari-cari alasan agar tidak shalat. Ayahnya memaksanya agar shalat,
sementara ibunya malah membelanya. Dalam kondisi demikian, jangan
salahkan anak jika dia mengatakan, “Kata ibu boleh nggak shalat kalau
lagi sakit. Sekarang aku kan lagi batuk, nih…”
Peran Lingkungan, Keluarga, dan Masyarakat
Pendidikan yang diberikan oleh orangtua kepada anak belumlah cukup untuk
mengantarkan si anak menjadi manusia yang berkepribadian Islam. Anak
juga membutuhkan sosialisasi dengan lingkungan tempat dia beraktivitas,
baik di sekolah, sekitar rumah, maupun masyarakat secara luas.
Di sisi inilah, lingkungan dan masyarakat memiliki peran penting dalam
pendidikan anak. Masyarakat yang menganut nilai-nilai, aturan, dan
pemikiran Islam, seperti yang dianut juga oleh sebuah keluarga Muslim,
akan mampu mengantarkan si anak menjadi seorang Muslim sejati.
Potret masyarakat sekarang yang sangat dipengaruhi oleh nilai dan
pemikiran materialisme, sekularisme, permisivisme, hedonisme, dan
liberalisme merupakan tantangan besar bagi keluarga Muslim. Hal ini
yang menjadikan si anak hidup dalam sebuah lingkungan yang membuatnya
berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi dia mendapatkan pengajaran
Islam dari keluarga, namun di sisi lain anak bergaul dalam lingkungan
yang sarat dengan nilai yang bertentangan dengan Islam.
Tarik-menarik pengaruh lingkungan dan keluarga akan mempengaruhi sosok
pribadi anak. Untuk mengatasi persoalan ini, maka dakwah untuk mengubah
sistem masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam mutlak
harus di lakukan. Hanya dengan itu akan muncul generasi Islam yang taat
syariah. Insya Allah. []
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar